Barongsai
Dalam upacara perayaan tradisional Tiongkok sering kita jumpai pertunjukan
atraksi Barongsai dan Liong, namun sejak kapan pertunjukan atraksi Barongsai
dan Liong itu muncul sudah sulit untuk dilacak. Namun dari catatan yang ada
dapat diketahui bahw pertunjukan tersebut sudah ada pada zaman dianasti Tang
kira-kira seribu tahun lebih yang lalu, dan kemudian semakin berkembang sampai
sekarang. Pertunjukan Barongsai dan Liong ini mula-mula adalah acara
pertujukan untuk memuja naga dan singa. Liong atau naga adalah semcama inatang
mistik yang selalu dipuja oleh bangsa Tionghoa sejak dahulu kala. Liong adalah
lambang kesaktian dan wibawa. Dalam dongen, Liong atau nega berhubungan erat
dengan leluhur bangsa Tionghoa, Liong menjadi simbol bangsa Tionghoa.
Sebenarnya Liong tidak ada di dunia alam, dan semata-mata adalah semacam
kepercayaan. Kaisar dinasti Han bernama Liu Bang kira-kira dua ribu tahun
lebih yang lalu bertolak dari kebutulan politk menyebut dirinya sebagai
keturunan naga untuk mendewakan diri guna meningkatkan wibawanya. Maka sejak
itu kaisar-kaisar selanjutnya selalu dihubngkan dengan Liong, Liong menjadi
hak khusus kaisar, utnuk membuktukan pertalian darahnya yang mulia. Asal usul
dan proses evolusi Liong mencerminkan perkembangan dan evolusi kepercayaan
agama primitif nenek moyang bangsa Tionghoa serta pembauran dan perubahan
kesadaran bangsa Tionghoa. Orang menganggap Liong sebagai binatang mistik yang
mulia dan memberikannya kedudukan sebagai simbol bangsa.Menurut catatan buku
kuno: Dahi lebar Liong melambangkan kecerdasan dan kearifan, tanduknya yang
seperti tanduk rusa melambangkan negara dan panjang usia, kupingnya yang
menyerupai telinga sampi melambangkan negara dan panjang usia, kupingnya yang
menyerupai telinga sapi melambangkan ketegapan, matanya yang mirip mata
harimau menunjukkkan keagungan, cakarnya yang bagai cakar rajawali
melambangkan keberanian, alisnya yang tegak melambangkan kegagahan, hidungnya
yang seperti hidung babi melambangkan kemakmuran, ekornya yang menyerupai ekor
ikan melambangkan keluwesan, dan giginya yang seperti kuda melambangkan
kerajinan, figur Liong itu mewakili watak-watak baik manusia dan mencerimkan
kepercayaan peradan Tionghoa terhadap dunia dan kehidupan manusia.
Aslinya Imlek atau
Sin Tjia adalah sebuah perayaan yang dilakukan oleh para
petani di Cina yang biasanya jatuh pada tanggal satu di bulan pertama di awal
tahun baru. Perayaan ini juga berkaitan dengan pesta para petani untuk
menyambut musim semi. Perayaan ini dimulai pada tanggal 30 bulan ke-12 dan
berakhir pada tanggal 15 bulan pertama. Acaranya meliputi sembahyang Imlek,
sembahyang kepada Sang Pencipta, dan perayaan Cap Go Meh. Tujuan dari
persembahyangan ini adalah sebagai wujud syukur dan doa harapan agar di tahun
depan mendapat rezeki lebih banyak, untuk menjamu leluhur, dan sebagai sarana
silaturahmi dengan kerabat dan tetangga.
Karena perayaan Imlek berasal dari kebudayaan petani,
maka segala bentuk persembahannya adalah berupa berbagai jenis makanan.
Idealnya, pada setiap acara sembahyang Imlek disajikan minimal 12 macam
masakan dan 12 macam kue yang mewakili lambang-lambang shio yang berjumlah 12.
Di Cina, hidangan yang wajib adalah mie panjang umur (siu mi) dan
arak. Di Indonesia, hidangan yang dipilih biasanya hidangan yang mempunyai
arti "kemakmuran," "panjang umur," "keselamatan," atau "kebahagiaan," dan
merupakan hidangan kesukaan para leluhur.
Kue-kue yang dihidangkan biasanya lebih manis daripada
biasanya. Diharapkan, kehidupan di tahun mendatang menjadi lebih manis. Di
samping itu dihidangkan pula kue lapis sebagai perlambang rezeki yang berlapis-lapis.
Kue mangkok dan kue keranjang juga merupakan makanan yang wajib dihidangkan
pada waktu persembahyangan menyambut datangnya tahun baru Imlek. Biasanya kue
keranjang disusun ke atas dengan kue mangkok berwarna merah di bagian atasnya.
Ini adalah sebagai simbol kehidupan manis yang kian menanjak dan mekar seperti
kue mangkok.
Ada juga makanan yang dihindari dan tidak dihidangkan,
misalnya bubur. Bubur tidak dihidangkan karena makanan ini melambangkan
kemiskinan.
Kedua belas hidangan itu lalu disusun di meja
sembahyang yang bagian depannya digantungi dengan kain khusus yang biasanya
bergambar naga berwarna merah. Pemilik rumah lalu berdoa memanggil para
leluhurnya untuk menyantap hidangan yang disuguhkan.
Di malam tahun baru orang-orang biasanya bersantap di
rumah atau di restoran. Setelah selesai makan malam mereka bergadang semalam
suntuk dengan pintu rumah dibuka lebar-lebar agar rezeki bisa masuk ke rumah
dengan leluasa. Pada waktu ini disediakan camilan khas Imlek berupa kuaci,
kacang, dan permen.
Pada waktu Imlek, makanan yang tidak boleh dilupakan
adalah lapis legit, kue nastar, kue semprit, kue mawar, serta manisan
kolang-kaling. Agar pikiran menjadi jernih, disediakan agar-agar yang dicetak
seperti bintang sebagai simbol kehidupan yang terang.
Tujuh hari sesudah Imlek dilakukan persembahyangan
kepada Sang Pencipta. Tujuannya adalah sujud kepadaNya dan memohon kehidupan
yang lebih baik di tahun yang baru dimasuki.
Lima belas hari sesudah Imlek dilakukan sebuah
perayaan yang disebut dengan Cap Go Meh. Masyarakat
keturunan Cina di Semarang merayakannya dengan menyuguhkan lontong Cap Go Meh
yang terdiri dari lontong, opor ayam, lodeh terung, telur pindang, sate abing,
dan sambal docang. Sementara di Jakarta, menunya adalah lontong, sayur godog,
telur pindang, dan bubuk kedelai.
Pada waktu perayaan Imlek juga dirayakan berbagai
macam keramaian yang menyuguhkan atraksi barongsai
dan kembang api.
Tio Ciu Pan
Dikatakannya, sejak hari pertama penayangan opera (Tio
Ciu Pan)
ini masyarakat etnis Tionghoa khususnya yang telah berusia di atas 60 tahun
terlihat antusias dan mengerti dengan penayangan opera (Tio
Ciu Pan).
Opera yang ditayangkan beberapa negara ini, terang Sukiwi, salah satunya Judge
Bao (Hakim Bao) yang menceritakan tentang seorang hakim yang adil dan
bijaksana.
Diceritakannya, Bao Zheng (Bao Ching Thien) adalah tokoh sejarah dari Dinasti
Sung Utara. Nama kecilnya adalah Bao Hsi-ren, lahir di He Fei, Lu Zhou (sekarang
Kabupaten He Fei, Provinsi An Wei). Ia lahir pada 999 dan lulus ujian
kenegaraan pada 1027. Namun karena tidak tega meninggalkan orangtuanya yang
telah berumur, ia tidak menjadi pejabat sampai tahun 1037 setelah orang tuanya
meninggal.
Selain itu, ia dipercaya menjadi Jhih Sian- hakim (setingkat pengadilan negeri)
di Kabupaten Tian Chang (sekarang Kabupaten Tian Chang, Provinsi An Wei), juga
pernah menjadi hakim di daerah Guang Dong. Karena kejujuran dan ketegasannya,
ia menjabat Jian Cha Yu Shih (semacam pejabat supervisor) yang memiliki
wewenang menghukum dan memecat pejabat-pejabat yang tidak jujur atau
menyalahgunakan kekuasaan mereka.
"Ia sebagai pejabat yang jujur dan mencintai rakyatnya, sering menegur para
pejabat yang korup, mendesak Kaisar mencabut kembali penghargaan dan hak-hak
khusus yang dimiliki oleh para pejabat kesayangan Kaisar," tutur Sukiwi
sembari mengatakan saran-sarannya untuk memajukan kerajaan banyak yang
diterima oleh Kaisar Sung Ren Zong. Tahun 1056, ia dipercaya menjabat hakim di
Kota Kai Feng (Luo Yang di dalam cerita Samkok).
Saat itu, Pengadilan Kai Feng terkenal akan kebobrokannya. Namun ia
membereskannya hanya dalam 1 tahun lebih masa jabatannya (Maret 1057~Juni
1058). Ia meninggal 3 tahun kemudian pada bulan Mei 1062 dan rakyat berkabung
sepeninggalnya seperti tertulis dalam buku sejarah.
"Masyarakat etnis Tionghoa antusias sekali melihat tayangan
Tio Ciu
Pan (hiburan rakyat) yang berjudul "Bao
Ching Thien" yang merupakan budaya masyarakat Tionghoa, setiap harinya lebih
kurang 5.000 pengunjung datang dari Medan dan Sumut khususnya memadati vihara
Sam Ciong Kun sebelum acara penayangan opera (Tio
Ciu Pan)
ini ditayangkan," ungkapnya.
Selain itu, para generasi yang ada saat ini, kata Sukiwi, tidak mengerti akan
budaya masyarakat Tionghoa. Tapi mereka terlihat ada keinginan mau belajar
dengan bertanya kepada para orangtua yang duduk bersebelahan dengan mereka.
Melalui acara ini, Sukiwi Tjong mengharapkan para generasi muda untuk
mengetahui, mencintai dan mempertahankan budaya Tionghoa yang selama 42 tahun
tidak pernah ada. "Melalui event ini, diharapkan Indonesia bisa melahirkan
generasi muda yang bisa menjadi pemain opera dalam negeri," pintanya.
Walikota Binjai Ali Umri menyambut budaya masyarakat Tionghoa ini dengan baik.
Ke depannya, ia berharap tidak ada lagi diskriminasi di mata hukum di negeri
tercinta ini. "Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, ras dan agama serta
budaya. Kita harus saling menghargai budaya. Sebagai umat beragama marilah
kita pupuk kebersamaan, sehingga tercipta persatuan dan kesatuan," kata Ketua
Golkar Sumut ini.
Sekadar mengingatkan, acara opera ini akan berakhir Sabtu (8/9) malam. Acara
opera ini setiap harinya ditayangkan mulai pukul 20.00 WIB dan selesai pukul
00.00 WIB.