Tortor dan ulos
Tortor, gondang dan ulos adalah padanan
dalam seni budaya Batak. Di Tobasa dua tahun terakhir ini menjelang perayaan
kemerdekaan RI dilakukan festival tortor Batak.
Pakaian merupakan kriteria yang mempengaruhi penialaian. Kepandaian
menari harus dipadankan dengan pemahaman pakaian tradisional, demikian
kesimpulan yang ditetapkan para utusan setiap kecamatan dengan dewan juri.
Pada festival tortor tahun ini pemenangnya adalah kontingen Kecamatan
Sigumpar.
Di Propinsi Sumatera Utara juga diadakan Festival tari tradisional.
Tobasa yang diwakili siswa SMA Negeri 1 Balige berhasil mendapat kejuaraan.
Kedua kelompok tari pemenang kejuaraan ini dipagelarkan usai peringatan
detik-detik kemerdekaan RI ke 62 di lapangan Sisingamangaraja XII Balige.
Ada dua hal yang kelihatan berbeda diantara penampilan kedua kelompok itu
walaupun sama-sama tortor batak dan diiringi gondang Batak.
Juara propinsi itu banyak menyimpang dari kriteria penjurian festival
tortor di Tobasa, antara lain keluwesan gerak dan pakaian tradisional. Walau
sama-sama ulos batak, tapi penggunaannya berbeda.
Hoba-hoba ulos yang dililitkan di pinggang sampai kaki tidak lajim
menggunakan punsa (namarulu). Perempuan toba biasanya pakai selembar lagi
ulos dililitkan di dada yang disebut hohop. Tali-tali harus dari ulos dan
dililitkan di kepala. Ada satu sebutan kepandaian bagi putra batak yang
disebut; “namalo martali-tali”. Lilitan ulos hoba-hoba harus menutup ke kiri.
Hindarkan penggunaan ulos bukan Toba, misalnya sadum angkola.
Bandingkan dengan juara propinsi itu. Mereka menggunakan ulos namarulu (punsa)
untuk hobahoba dan dililitkan menutup ke kanan. Sampe-sampe adalah sadum
angkola. Para penari prianya tidak menggunakan tali-tali, tapi topi melayu.
Beruntung bila para dewan juri di Sumut tidak terlalu terikat kepada
penggunaan assesori tepat material dan tepat guna sehingga Tobasa
mendapatkan kejuaraan.
Ada yang menarik hati dalam mengisi acara hiburan dari salah satu
perguruan Islam di Balige. Mereka menggunakan jilbab dan ulos batak, kreasi
tortor-toba dan gondang untuk menghibur penonton. Siapa bilang mereka tidak
pandai manortor dan tidak menggunakan ulos? Ternyata musik batak akrab di
telinga mereka. Horas generasi muda muslim Tobasa.
Tarian Adat Masyarakat Batak
Tidak lengkap rasanya ke
Kabupaten Samosir di kepulauan Samosir bila tidak menyempatkan diri untuk
menyaksikan tarian tradisional masyarakat batak pada jaman dahulu. Tarian ini
dapat kita lihat di Museum Huta Bolon Simanindo, yang jaraknya sekitar 4km dari
kota Panguguran. Jadwal pertunjukannya itu sendiri dari hari Senin sampai Minggu,
hanya saja pertunjukan di hari minggu baru dimulai pada pukul 11.45, setelah
selesai dari gereja. Tepat pukul 10.00 TC tiba di tempat pertunjukan, tempatnya
sangat rindang dipenuhi pepohonan, dan tidak jauh dari pintu masuk terdapat
sebuah loket, dengan membayar sekitar Rp.50ribu kita sudah mendapatkan kertas
panduan tarian. Panduan ini terdiri dari beberapa bahasa asing, antara lain
Inggris, Itali, Perancis, dan Jerman, jangan heran kabupaten Samosir juga
merupakan salah satu tempat favorit bagi para turis asing.
Benar saja, tak lama setelah membeli tiket masuk, tepat dibelakang
terdapat rombongan turis asing yang ingin menyaksikan tarian ini, beberapa dari
mereka berasa dari Australia, Jerman dan Amerika diriingi oleh guide mereka
masing-masing. Kami semua dituntun masuk menuju arena pertunjukan. Sebuah
lapangan luas, di dalam lapangan tersebut terdapat dua rumah adat batak yang
berdiri dengan kokoh, dan diseberangnya adalah tempat duduk dari batu untuk para
penonton. Tepat dibelakang dibelakang tempat duduk penonton terdapat sekitar
lima panggung dengan atap khas batak, dan masing-masing panggung tersebut
rupanya ruangan untuk raja.
Ada ruang pertemuan antara raja dan petinggi-petinggi kerajaan untuk
bermusyawarah, ada ruang untuk raja dan keluarga untuk bercengkerama bersama
keluarga, dan ada juga ruangan untuk raja menyendiri. Masing-masing ruangan itu
terdiri atas rumah panggung dan berdiri berderetan satu sama lain.
Tarian adat batak ini sendiri terdiri dari 12 bagian, dimana di masing-masing
bagian mempunyai cerita yang berbeda-beda. Dengan diiringi oleh alat musik
tradisional batak, tarian pun dimulai. Pertama-tama ada seorang kepala adat yang
keluar sambil membawa seekor kerbau, dan kerbau tersebut di tambatkan pada
sebuah pohon yang ada di tengah-tengah lapangan.
Tidak lama kemudian beberapa orang
penari keluar dari rumah adat. Mereka berpakaian adat lengkap, tidak lupa ulos
yang menjadi kebanggaan masyarakat batak. Pada babak pertama di ceritakan
tentang bagaimana masyarakat batak berterima kasih kepada tuhan karena kerbau
yang mereka bawa ke kampung tidak berbuat hal-hal yang tidak baik dan merugikan
mereka, tarian ini bertema Gondang Lae-lae.
Pada babak selanjutnya dengan nama Gondang Mula-mula, disini menceritakan
tentang rasa terima kasih kepada langit, bumi dan segala sesuatu yang telah
Tuhan ciptakan dan berikan untuk mereka. Disambung dengan Gondang Mulajadi
merupakan tarian rasa terima kasih karena permohonannya telah dikabulkan oleh
Tuhan.
Dilanjutkan dengan Gondang Sahata Mangaliat, disini para penari bernari
mengelilingi kerbau yang diikat tadi, dalam aksi yang sebenarnya kerbau tersebut
di jadikan kurban dan dagingnya dibagi-bagikan kepada mereka yang ikut serta
dalam acara adat tersebut.
Gondang Marsiolopan dalam babak ini mereka saling memberi selamat dan
dilanjutkan dengan Gondang Siboru, dimana dalam babak ini diceritakan tentang
bagaimana seorang pria harus memilih satu diantara tiga wanita yang ia temui di
dalam pesta untuk dilamar, sebagai tanda bahwa sang pria sudah menemukan wanitar
belahan jiwanya maka pris itu akan memberikan uang kepada sang wanita sebagai
tanda bahwa pria tersebut serius, babak tersebut bernama Gondang sidoli.
Dilanjutkan dengan Gondang Pangurason dimana roh dari leluhur akan memasuki
tubuh salah seorang penari dan si penari akan di perciki dengan air suci untuk
mengembalikan kesadarannya seperti semula. Setelah itu dilanjutkan dengan
Gondang Habonaran, dimana ada dua orang anak muda yang mempertunjukan tarian
perang, pemenangnya melambangkan kebenaran dan yang kalah melambangkan kejahatan.
Setelah pemenangnya keluar maka
dirayakan bersama-sama dengan tari Tor-tor Tunggal Panaluan, disini para penari
mengajak penonton untuk ikut serta turun bersama dan bernari. Para penari akan
menghampiri penonton dan memberikan kain ulos, siapa yang menerimanya harus ikut
turun dan bernari bersama mereka.
Dan tarian yang terakhir adalah Gondang Sigale-Gale. Tarian ini menceritakan
tentang seorang raja yang mempunyai anak tunggal dan sang Raja sangat sayang
pada anak semata wayangnya ini dan sang raja sangat mengharapkan bahwa anaknya
akan menjadi calon Raja yang bijaksana kelak. Lalu tiba-tiba saja anaknya jatuh
sakit lalu meninggal. Sang Raja sangat sedih karena kehilangan anak semata
wayangnya ini. Demi untuk mengobati rasa rindunya sang raja mencari tukang kayu
yang paling handal diseluruh pelosok negeri dan membuat patung kayu yang
menyerupai anaknya. Namun sayang kayu tersebut tidak dapat bergerak seperti
anaknya yang sangat lincah.lalu untuk menggerakan patung tersebut sang raja
memanggil roh anaknya untuk masuk ke dalam patung.
Sigale-gale sendiri merupakan tarian dengan boneka kayu, dulu boneka tersebut
memang selalu menggunakan roh untuk menggerakkannya, namun sekarang mereka
menggunakan tali yang diikatkan keseluruh tubuh patung kayu.
Benar-benar sebuah pertunjukan yang luar biasa. Hanya dalam 45 menit saja, anda
akan mendapatkan sajian tarian adat yang sangat menarik dan sangat unik. Anda
wajib menyaksikan tarian ini bila anda berkunjung ke Pulau Samosir.
Warisan Budaya
Batak Pakpak
Gordang Sambilan
Gordang
Sambilan adalah warisan budaya bangsa Mandailing dan tidak ada duanya
dalam budaya etnis lainnya di Indonesia. dan Malaysia. Gordang Sambilan
diakui oleh ahli/pakar etnomusikologi sebagai satu ensembel muzik yang
teristimewa di dunia.
Bagi orang Mandailing terutama di masa lalu, Gordang Sambilan merupakan
musik adat sakral (kudus) yang terpenting. Gordang Sambilan dipandang
sakral karena dipercayai mempunyai kekuatan gaib memanggil roh nenek
moyang untuk memberi pertolongan melalui medium atau shaman yang di
namakan Sibaso.
Oleh karena itu, pada masa lalu, di setiap kerajaan
otonom yang banyak terdapat di Mandailing harus ada satu ensambel
Gordang Sambilan. Alat musik sakral itu di tempatkan di Sopo Godang (Balai
Sidang Adat dan Pemerintahan Kerajaan) atau di satu bangunan khusus
untuknya yang dinamakan Sopo Gordang yang terletak dekat Bagas Godang (kediaman
raja). Gordang Sambilan hanya digunakan untuk upacara adat dan perayaan
Hari Raya Idul Fitri.
Instrumen Gordang Sambilan
Gordang Sambilan terdiri dari sembilan buah gendang dengan ukuran yang
relatif sangat besar dan panjang. Ukuran besar dan panjangnya kesembilan
gendang tersebut bertingkat, mulai dari yang paling besar sampai pada
yang paling kecil.
Tabung resonator Gordang Sambilan terbuat dari kayu
yang dilumbangi dan salah satu ujung lobangnya (bagian kepalanya)
ditutup dengan membran yang terbuat dari kulit lembu yang ditegangkan
dengan rotan sebagai alat pengikatnya.
Untuk membunyikan Gordang Sambilan digunakan kayu pemukul.
Masing-masing gendang dalam ensambel Gordang Sambilan
mempunyai nama sendiri. Namanya tidak sama di semua tempat di seluruh
Madailing. Karena masyarakat Madailing yang hidup dengan tradisi adat
yang demokratis punya kebebasan untuk berbeda.
Instrumen musik tradisional Gordang Sambilan
dilengkapi dengan dua buah ogung (gong) besar Yang paling besar
dinamakan ogung boru-boru (gong betina) dan yang lebih kecil dinamakan
ogung jantan (gong jantan), satu gong yang lebih kecil yang dinamakan
doal dan tiga gong lebih kecil lagi yang dinamakan salempong atau
mong-mongan. Gordang Sambilan juga dilengkapi dengan alat tiup terbuat
dari bambu yang dinamakan sarune atau saleot dan sepasang simbal kecil
yang dinamakan tali sasayat.
Penggunaan Gordang Sambilan

Pada zaman sebelum Islam, Gordang Sambilan digunakan
untuk upacara memanggil roh nenek moyang apabila diperlukan
pertolongannya. Upacara tersebut dinamakan paturuan Sibaso (memanggil
roh untuk merasuk/menyurupi medium Sibaso). Tujuannya untuk minta
pertolongan roh nenek moyang, mengatasi kesulitan yang sedang menimpa
masyarakat, seperti misalnya penyakit berjangkit. Gordang Sambilan
digunakan juga untuk upacara meminta hujan atau menghentikan hujan yang
turun terlalu lama dan menimbulkan kerusakan. Selain itu dipergunakan
pula untuk upacara perkawinan yang dinamakan Orja Godang Markaroan Boru
dan untuk upacara kematian yang dinamakan Orja Mambulungi.
Penggunaan Gordang Sambilan untuk kedua upacara
tersebut, karena untuk kepentigan pribadi harus lebih dahulu mendapat
izin dari pemimpin tradisional yang dinamakan Namora Natoras dan dari
Raja sebagai kepala pemerintahan. Permohonan izin itu dilakukan melalui
suatu musyawarah adat yang disebut markobar adat yang dihadiri oleh
tokoh-tokoh Namora Natoras dan Raja beserta pihak yang akan
menyelenggarakan upacara.
Selain harus mendapat izin dari Namora Natoras dan
Raja untuk penggunaan Gordang Sambilan dalam kedua upacara tersebut
harus disembelih paling sedikit satu ekor kerbau jantan dewasa. Jika
persaratan tersebut tidak dipenuhi maka Gordang Sambilan tidak boleh
digunakan.
Untuk upacara kematian (Orja Manbulungi) yang
digunakan hanya dua buah yang terbesar dari instrumen Gordang Sambilan
yang digunakan, yaitu yang dinamakan Jangat. Tapi dalam konteks
penyelenggaraan upacara kematian ia dinamakan Bombat.
Penggunaan Gordang Sambilan dalam upacara adat
disertai dengan peragaan benda-benda kebesaran adat, seperti
bendera-bendera adat yang dinamakan Tonggol, payung kebesaran yang
dinamakan Payung Raranagan.
Gordang Sambilan juga digunakan untuk mengiringi tari
yang dinamakan Sarama. Penyarama (orang yang melakukan tari Sarama)
kadang-kadang mengalami kesurupan (trance) pada waktu menari karena
dimasuki oleh roh nenek moyang. Demikian juga halnya dengan pemain
Gordang Sabilan. Pada masa belakangan ini Gordang Sambilan selain masih
digunakan oleh orang Mandailing sebagai alat musik adat yang sakral,
juga sudah ditempatkan sebagai alat musik kesenian tradisional
Mandailing yang sudah mulai populer di Indonesia dan bahkan di Eropa dan
Amerika Serikat. Karena dalam beberapa lawatan kesenian tradisional
Indonesia ke dua Kontinen tersebut sudah diperkenalkan Gordang Sambilan.
Orang Mandailing yang banyak terdapat di Malaysia sudah mulai pula
menggunakan Gordang Sambilan untuk berbagai upacara.
Dengan ditempatkannya Gordang Sambilan sebagai
instrumen musik kesenian tradisional Mandailing, maka Gordang Sambilan
sudah digunakan untuk berbagai keperluan di luar konteks upacara adat
Mandailing. Misalnya untuk menyambut kedatangan tamu-tamu agung,
perayaan-perayaan nasional dan acara pembukaan berbagai upacara besar
serta untuk merayakan Hari Raya Adul Fitri. |
Mitologi
Batak Toba telah menganut
agama Kristen Protestan yang disiarkan oleh para Missionaris dari Jerman
yang bernama Nomensen pada tahun 1863. Gereja yang pertama berdiri adalah
HKBP (Huria Kristen Batak Protestan)di huta Dame Balige. Sekarang ini gereja
HKBP ada dimanaman di seluruh Indonesia yang jemaatnya mayoritas suku batak
toba.Sebelum suku batak Toba menganut agama kristen protestan, mereka
mempunyai sistem Kepercayaan dan religi tentang Debata Mulajadi Nabolon yang
memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaanNya terwujud dalam
Debata Na
Menyangkut Jiwa dan roh, Suku batak Toba mengenal tiga konsep, yaitu:
Tondi adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena
itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di
dalam kandungan.Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut
akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi
dari sombaon yang menawannya. Sahala adalah jiwa atau roh kekuatan yang
dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang
memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang
dimiliki para raja atau hula-hula. Begu adalah tondi orang telah meninggal,
yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul padsa
waktu malam.Beberapa begu yang ditakuti oleh orang batak, yaitu:
- Sombaon, yaitu begu yang bertempat tinggal di pegunungan atau di hutan
rimba yang gelap dan mengerikan.
- Solobean, yaitu begu yang dianggap penguasa pada tempat tempat
tertentu
- Silan, yaitu begu dari nenek moyang pendiri huta/kampung dari suatu
marga
- Begu Ganjang, yaitu begu yang sangat ditakuti, karena dapat
membinasakan orang lain menurut perintah pemeliharanya.
Demikianlah religi dan kepercayaan suku batak yang terdapat dalam pustaha,
yang walaupun sudah menganut agama kristen, dan berpendidikan tinggi orang
batak belum mau meninggalkan religi dan kepercayaan yang sudah tertanam di
dalam hati sanu bari mereka.
Pada masyarakat suku Batak, siklus kehidupan seseorang dari lahir
kemudian dewasa, berketurunan sampai meninggal, melalui beberapa masa dan
peristiwa yang dianggap penting. Karenanya pada saat-saat atau peristiwa
penting tersebut perlu dilakukan upacara-upacara yang bersifat adat,
kepercayaan dan agama. Upacara-upacara tersebut antara lain upacara turun
mandi, pemberian nama, potong rambut dan sebagainya pada masa anak-anak,
upacara mengasah gigi, upacara perkawinan, upacara kematian dan lain-lain.
Di kalangan masyarakat Batak dikenal upacara memberi makan enak kepada orang
tua yang sudah lanjut usia tetapi masih sehat, tujuannya untuk memberi
semangat hidup agar panjang umur dan tetap sehat. Juga kepada orang tua yang
sakit dengan maksud agar dapat sembuh kembali. Upacara ini disebut "sulang-sulang".

|