Destination Culture Attraction Activities About
Atraksi Budaya
Adat Istiadat Tepung Tawar
TEPUNG tawar dalam masyarakat Melayu Serdang mempunyai makna yang sangat luas. Karena tepung tawar dilakukan bukan hanya di kala senang tetapi di kala susah juga dilakukan tepung tawar, sehingga makna tepung tawar yang sesungguhnya adalah rasa terima kasih dan syukur
kepada Yang Maha Kuasa. Di bawah ini Tuanku Lckman Sinar Basharshah selaku Pemangku Adat Kesultanan Serdang menuliskan tentang tepung tawar bagi masyarakat Melayu Serdang, di mana adat istiadat tepung tawar ini masih tetap lestari hingga sekarang namun banyak yang tidak memahaminya.
Ramuan Sirih (Tepak Sirih/Puan):
Dalam masyarakat Melayu Serdang, sirih dengan perlengkapannya merupakan suguhan yang paling utama.Tepak sirih berisi daun sirih, kacu, gambir, pinang dibelah, kapur dan tembakau adalah suguhan utama baik dalam menyambut
tamu, makanan sehari-hari maupun dalam upacara adat.
Tepung Tawar
Demikian juga tepung tawar adalah salah satu kebiasaan adat dan tidak pernah ditinggalkan dalam upacara adat Melayu Serdang. Tepung tawar dilakukan pada adat perkawinan, khitan, upah-upah atau jemput semangat bagi orang yang luput dari mara bahaya, mendapat rezeki atau sebagai rasa syukur.
Ramuan Penabur
Bahan-bahan tepung tawar diletakkan di atas pahar (dulang tinggi) dan tempat terpisah-pisah seperti beras putih, beras kuning, bertih (padi digoreng), bunga rampai, dan tepung beras. Semua ini mempunyai makna yakni beras putih berarti lambang kesuburan,beras kuning berarti suatu kemajuan yang baik,bunga rampai bermakna keharuman nama dan tepung beras memiliki arti kebersihan hati.
Ramuan Perincis
Ramuan perincis untuk tepung tawar terdiri dari semangkuk air, segenggam beras putih dicampur jeruk purut (limau mungkur) diiris-iris. Juga satu ikat bahan tepung tawar terdiri dari 7 macam bahan yakni: daun kalinjuhang (lambang tenaga magis kekuatan ghaib), daun pepulut atau pulutan (lambang kekekalan sesuai sifatnya yang lengket),daun ganada rusa (lambang perisai gangguan alam), daun jejeruan (lambang kelanjutan hidup sebab sukar dicabut), daun sepenuh(lambang rezeki), daun sedingin (lambang menyejukkan, ketenangan, kesehatan), rumput sambau dan akarnya (lambang pertahanan karena akarnya sukar dicabut).
Pedupaan
Dalam acara tepung tawar juga disediakan pedupaan (dupa) tempat kemenyan atau setanggi dibakar yang tujuannya untuk wewangian saja.
Pemerintahan Adat Melayu Rantau Kuantan dan Kampar Kiri Dari penelitian sistem pemerintahan adat di bekas Kerajaan Kuantan dan Kampar Kiri diketahui bahwa kedua daerah tersebut dulu mempunyai sistem pemerintahan adat yang sama karena latar belakang sejarah yang hampir sama. Kedua daerah ini berbatasan dengan daerah Minangkabau. Semua pranata yang tersusun dalam organisasi adat tersebut menunjukkan kekuasaan otokrasi raja yang dibatasi oleh kekuasaan kaum elite yang turun-temurun. Penelitian ini mengungkapkan bahwa pranata adat dan agama masih berperan dalam masyarakat pedesaan di Melayu. Untuk memperlancar pembangunan, sebaiknya semua pembaharuan yang diperkenalkan dicari rujukannya pada pranata adat dan agama, agar partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan lebih meningkat. 1. Pendahuluan Rantau Kuantan merupakan bagian dari Kabupaten Indragiri Hulu
dan terletak di sepanjang batang Kuantan (Sungai Indragiri bagian
hulu). Menurut sejarah, daerah ini dikenal dengan sebutan Rantau Nan
Kurang Oso Duo Pulua”, artinya negeri tempat perantauan yang
mempunyai sembilan belas koto (negeri) atau dua puluh kurang satu koto. Daerah Kuantan pada bagian barat (hulu) berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat, pada bagian timur (hilir) berbatasan dengan Desa Batu Sawa, pada bagian selatan berbatasan dengan Provinsi Jambi, dan bagian utara berbatasan dengan Kabupaten Kampar. 2. Latar Belakang Sejarah Tradisi
lisan yang diceritakan turun-temurun menyatakan bahwa nenek moyang
penduduk Rantau Kuatan berasal dari daerah Minangkabau. Salah satu
sumber mengatakan bahwa dua orang utusan dari Pagaruyung bernama Po
Patih atau Datuk Patih dan Po Gagah Kemanggungan atau Datuk
Ketemanggungan datang ke Kuantan untuk mendirikan negeri. Sebagian
sumber lain mengatakan bahwa sebelum datuk-datuk tersebut datang, di
sepanjang sungai itu juga sudah ada beberapa negeri. Daerah ini pernah
berada di bawah pengaruh Pagaruyung.
Negeri yang sudah terkenal serta ramai penduduknya itu dibagi menjadi
beberapa distrik atau kesatuan wilayah dalam bentuk federasi.
Kesatuan-kesatuan wilayah tersebut dinamai menurut jumlah koto. Pada setiap kesatuan (koto) ditempatkan kepala pemerintahan yang bergelar datuk sebagai wakil pemerintahan (Schwarts, 1893). Negeri atau koto tertua yang ditempati nenek moyang mereka yang merantau ke daerah ini adalah Inuman. Setiap
dua atau tiga tahun, Raja Pagaruyung datang berkunjung ke daerah
tersebut. Akan tetapi, setelah kekuasaan Raja Pagaruyung semakin lemah,
apalagi setelah Pagaruyung jatuh di bawah kekuasaan Belanda sesudah
Perang Padri, sering terjadi sengketa antarkesatuan (koto).
Salah seorang keturunan Raja Pagaruyung terakhir lari ke Kuantan dan
atas kesepakatan para datuk, pada tahun 1883 putra Sultan Muningsyah
diangkat menjadi raja di daerah ini. Pengangkatannya sebagai sultan
dianggap sah setelah mengikuti upacara arak-arakan dari Seluka sampai
ke Cerenti. Sejak itu, sultan diberi gelar Yang Dipertuan Putih Sultan
Abdullah. Pada mulanya, raja berkedudukan di Cerenti, kemudian pindah ke Basrah. Kerajaan inilah yang dikenal sebagai Kerajaan Kuantan. Raja Kuantan pertama yang menandatangani Korte Verklaring
dengan Belanda adalah Yang Dipertuan Putih Sultan Hasan, yaitu pada
tahun 1905. Pada tahun 1907, ia digantikan oleh Sultan Begab. Raja
terakhir pengganti Sultan Begab bernama Raja Ismail. Sejak tahun 1905,
semua raja yang dinobatkan harus atas persetujuan dan pengukuhan dari
pemerintah Belanda. Seperti
halnya penduduk Rantau Nan Kurang Oso Duo Pulua, penduduk Kampar Kiri
juga percaya bahwa nenek moyang mereka berasal dari Minangkabau. Setelah
jumlah penduduk semakin berkembang dan pemukiman semakin luas, mereka
memutuskan untuk mempunyai raja sendiri. Atas kesepakatan para datuk
di daerah Kampar Kiri, dua orang datuk diutus ke Pagaruyung untuk
meminta salah seorang putra raja untuk menjadi raja di Kampar Kiri.
Kerajaan Kampar Kiri yang beribu kota di Gunung Sahilan juga disebut
Kerajaan Gunung Sahilan. Tidak
ada sumber yang menyebutkan kapan pertama kali Kampar Kiri mempunyai
raja. Berdasarkan lambang kerajaan, baru jelas bahwa Kerajaan Kampar
Kiri/Kerajaan Gunung Sahilan lebih tua dari Kerajaan Kuantan.
Peninggalan sejarah Kerajaan Kuantan relatif sedikit bila dibandingkan
dengan Kerajaan Gunung Sahilan. Peninggalan sejarah yang masih dapat
disaksikan di Gunung Sahilan antara lain adalah bekas istana raja (meskipun tidak asli lagi), benda-benda kerajaan, tambo adat yang ditulis oleh wazir terakhir dan dicetak pada tahun 1939. Tambo yang lain belum pernah dibuka, karena oleh ahli warisnya dipandang sangat keramat. Tambo tersebut ditulis dengan huruf Arab-Melayu dan berbahasa Minangkabau lama. Bersamaan
dengan Kerajaan Kuantan, Kerajaan Kampar Kiri (Kerajaan Gunung
Sahilan) yang waktu itu berada di bawah kekuasaan Sultan Abdul Jalil
bin Yang Dipertuan Hitam pada tahun 1905 menandatangani Korte Verklaring
dengan pemerintah Belanda. Pada tahun 1930, Yang Maha Mulia Tengku
Sulung yang bergelar Tengku Yang Dipertuan Besar dan Yang Maha Mulia
Tengku Haji Abdullah yang bergelar Tengku Yang Dipertuan Sakti
dinobatkan menjadi raja dengan mengadakan upacara besar-besaran (lihat
Lutfi, “Sejarah Riau”). 3. Latar Belakang Budaya Latar belakang budaya kedua daerah tersebut akan diuraikan secara singkat menurut unsur-unsur kebudayaan universal. Bahasa. Bahasa yang dipakai di kedua daerah tersebut adalah bahasa Melayu dengan dialek khas yang mirip dengan bahasa Minangkabau. Menurut Koentjaraningrat (1972), bahasa Minangkabau
dapat dikatakan sebagai satu jenis bahasa sendiri dan dapat dianggap
sebagai salah satu dialek dari bahasa Melayu. Hal yang paling menonjol
pada bahasanya adalah kesenangan mereka menggunakan kata-kata arif
serta pepatah-petitih. Kata-kata kiasan pada umumnya berpedoman pada
alam sekitarnya. Ketinggian martabat seseorang juga dapat ditandai
dari kemahirannya menggunakan kata-kata arif dan kiasan. Mereka tidak
mengenal adanya perbedaan bahasa yang menunjukkan stratifikasi sosial
dalam masyarakat. Sistem Teknologi.
Sistem teknologi yang digunakan dalam memenuhi keperluan hidup di
Rantau Kuantan dan Kampar Kiri pada umumnya masih tradisional, yaitu
teknologi pertanian tradisional. Makanan utama mereka adalah beras. Padi sebagian besar masih ditanam di ladang, terutama di daerah hilir. Alat-alat yang dipergunakan untuk menanam padi masih sederhana. Pada daerah hulu sudah dikenal bajak yang ditarik oleh binatang (kerbau). Alat-alat lainnya berupa cangkul, beliung, parang, sabit, tajak, tugal, tuai, kembut, tikar, lesung, gendang, dan nyiru sebagai penampi. Untuk menangkap ikan, penduduk menggunakan alat-alat seperti jala, tangguk, lukah, pancing, dan sebagainya. Kadang-kadang mereka menggunakan sampan untuk menangkap ikan di sungai. Rumah penduduk bertiang dan terbuat dari kayu. Dahulu di daerah ini terdapat rumah adat seperti di Minangkabau, namun sekarang sudah sangat langka. Rumah adat seperti Balairung dan Rumah Gadang
memakai rumah adat Koto Piliang (Datuk Ketemanggungan). Ciri rumah
adat Koto Piliang adalah lantainya tidak sama tinggi, berbeda dengan
rumah adat Bodi Caniago (Datuk Perpatih) yang lantai rumahnya sama
tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa adat Bodi Caniago lebih demokratis
daripada adat Koto Piliang. Mata Pencaharian. Mata pencaharian masyarakatnya adalah bertani, terutama berladang padi ladang kasang).
Mencari ikan di sungai merupakan mata pencaharian tambahan, begitu
juga mencari hasil hutan. Usaha ini dilakukan sambil menunggu panen
atau menunggu musim tanam berikutnya. Organisasi Sosial.
Organisasi sosial di Rantau Kuantan dan Kampar Kiri memakai sistem
kekerabatan yang sama dengan sistem kekerabatan di Minangkabau. Garis
keturunan dihitung melalui kerabat ibu (matrilinial). Pernikahan sesama
anggota suku dilarang, karena menurut keyakinan mereka anggota satu
suku mempunyai pertalian darah. Mereka berkeyakinan bahwa pernikahan yang ideal adalah kalau seseorang menikah dengan anak mamaknya (kemenakan ayah). Setelah pernikahan berlangsung, pengantin lelaki menetap di rumah pengantin perempuan matrilokal). Sistem Pengetahuan.
Rantan Kuantan dan Kampar Kiri mempunyai latar belakang kebudayaan yang
sama, sehingga penduduknya hampir mempunyai pengetahuan yang sama
mengenai alam, flora, dan fauna. Keadaan geografisnya juga tidak jauh
berbeda. Mereka juga mempunyai pengetahuan tentang alam, terutama yang
berkaitan dengan musim, baik yang ada hubungannya dengan pertanian
dan perikanan maupun yang berhubungan dengan mencari hasil hutan. Pengetahuan tentang obat-obatan tradisional
dari kedua daerah itu juga sama, yaitu penggunaan beberapa jenis
tumbuh-tumbuhan sebagai ramuan obat, misalnya obat untuk menyembuhkan
penyakit demam yang berupa daun sitawar, sedingin, kumapai, cekun,
kunyit polai, dan jerangau. Di samping itu, juga digunakan berbagai
jenis jeruk, akar kayu, bunga-bungaan, kelapa muda, pinang, dan
sebagainya. Untuk penangkal atau jimat kadang-kadang mereka
menggunakan tahi besi (sisa-sisa besi) dan benang warna/pancawarna.
Benda-benda itu baru dapat dijadikan obat dan mempunyai khasiat
menyembuhkan penyakit setelah dimantrai dukun. Kesenian. Di daerah Rantau Kuantan terdapat berbagai macam kesenian seperti seni musik, seni suara, seni tari, seni ukir, dan sebagainya. Selain Randai, seni yang lebih terkemuka di sini adalah Rarak Godang, Kayat, Zikir, dan Kaba. Salah satu kebudayaan tradisional yang tumbuh dan berlangsung sampai sekarang adalah Pacu jalur. Randai merupakan perpaduan antara Kaba, lagu, tari, dan sandiwara. Di daerah Kampar Kiri, seni Randai tidak begitu populer. Pencak silat terdapat di Rantau Kuantan maupun Kampar Kiri. Alat-alat musik di kedua daerah itu hampir sama, seperti calempong, ogung gong), dan gendang. Seni sastra yang berkembang antara lain pantun, pepatah, dan Kayat. Sistem Religi. Hampir semua penduduk Rantau Kuantan dan Kampar Kiri merupakan penganut agama Islam. Dalam kehidupan sehari-hari, agama dan adat-istiadat sudah menyatu, sebagaimana tercermin dalam ungkapan yang berbunyi “Adat basandi syarak, syarak basandi kitab Allah”. Meskipun demikian, kepercayaan adanya makhluk-makhluk halus
dan pemujaannya masih terlihat dalam kehidupan masyarakat.
Kadang-kadang mereka tidak menyadari bahwa pemujaan tidak dibolehkan
oleh agama Islam. Adanya kepercayaan tersebut dapat dilihat pada upacara-upacara tradisional seperti upacara semah
pada waktu membuka hutan, menanam padi, menangkap ikan di lubuk secara
beramai-ramai, mendirikan rumah baru, dan membuat sampan/jalur. Tokoh
yang berperan dalam upacara tersebut adalah dukun. Upacara semah
disertai dengan memotong binatang (ayam, kambing, dan sebagainya)
dan diakhiri dengan doa selamat oleh seorang ulama. Salah satu cara
menolak bala/penyakit/wabah adalah dengan upacara menghanyutkan lancang atau membuang ancak yang berisi sesaji ke sungai. Dalam pengobatan, dikenal cara-cara Bulian yang dipimpin oleh Gumantan. 4. Sistem Pemerintahan Adat Sistem pemerintahan adat mencakup semua pranata yang berhubungan dengan susunan organisasi, tata kerja, formasi aparatur, tugas/kewajiban, wewenang dan tanggung jawab, serta hubungan kerja dari badan-badan yang ada. Kedudukan tertinggi dalam pemerintahan adat adalah sultan. Sebagai
raja, ia adalah penguasa tertinggi di bidang politik, adat, agama,
ekonomi, budaya, dan lain sebagainya. Kedudukan raja didapatkan
karena keturunan. Akan tetapi tidak berarti bahwa semua keturunan
raja dapat menjadi raja/sultan. Kedudukan raja baru sah bila sudah
mendapat pengesahan (legitimasi) yang sesuai dengan suatu prosedur yang
telah ditetapkan oleh adat, antara lain melalui upacara penobatan.
Seseorang yang telah dinobatkan menjadi raja berarti telah memenuhi
syarat-syarat kepemimpinan menurut adat, seperti telah dewasa, berakal budi, adil dan bijaksana, berilmu (tahu akan undang-undang, hukum adat dan pusaka, serta paham akan agama), berwibawa, terampil dalam ilmu bela diri dan ilmu kebatinan, dan ahli perang. Sebenarnya syarat kepemimpinan
itu hampir semuanya merupakan syarat bagi pemimpin adat lainnya.
Perbedaannya, kalau raja diresmikan dengan upacara penobatan,
sedangkan pemimpin-pemimpin adat lainnya dengan upacara pengangkatan
dan peresmian. Sesudah
dinobatkan, raja mempunyai wewenang untuk memimpin secara resmi. Namun
wewenang raja, baik raja di Kerajaan Kuantan maupun di Kerajaan Kampar
Kiri, tidak penuh (otokrasi). Dalam mengambil keputusan maupun
melaksanakannya, ia harus mendapat persetujuan dari Dewan Menteri. Di
Kerajaan Kuantan, Dewan Menteri adalah Kerapatan Majelis Urang Godang,
sedangkan di Kerajaan Kampar Kiri lembaga itu bernama Kerapatan
Khalifah. Dalam melaksanakan pemerintahan, sultan/raja dibantu oleh seorang khadi
untuk bidang agama. Di Kampar Kiri, raja dibantu oleh seorang saudagar
yang mengurus bidang perdagangan atau ekonomi. Khalifah di Kerajaan
Kampar Kiri dan Urang Godang di Kuantan tidak lain adalah wakil raja di
daerah, seperti camat atau bupati sekarang. Seperti halnya raja, Urang
Godang dan Khalifah tidak berhak mencampuri urusan dalam nagari ataupun koto
yang berada di bawah pengawasannya secara langsung tanpa persetujuan
Dewan Menteri. Raja dan Urang GodangKhalifah tidak lain hanya sebagai
badan pengawas, pengatur, atau koordinator terhadap daerah yang ada
di bawah kekuasaannya. Selain
itu, Khalifah Kampar Kiri juga bertugas membantu raja dalam
menyelesaikan masalah-masalah tertentu. Sebagai contoh, Khalifah
Kuntu yang bergelar Datuk Bandaro mempunyai tugas dan kewajiban
menyelesaikan perkara adat. Apabila Khalifah Kuntu ditugaskan
menyelesaikan masalah adat dalam musyawarah Majelis Dewan Menteri
Kerajaan Kampar Kiri, maka bendera (tonggou) yang berdiri
adalah bendera Khalifah Kuntu. Begitu pula dengan tugas datuk-datuk
lainnya. Datuk Godang Khalifah Batu Sanggan berkewajiban menyelesaikan
perkara pidana, Datuk Marajo Basa Khalifah Ludai menyelesaikan masalah
keamanan, dan Datuk Bendahara Khalifah Ujung Bukit menangani urusan
syarak (agama). Sebenarnya sistem pemerintahan itu berpedoman pada
sistem pemerintahan adat di Minangkabau yang dikenal dengan Basa Ampek Balai (Tengku Ibrahim, 1939). Dewan
Menteri kedua kerajaan ini mempunyai lima orang anggota. Wewenang datuk
yang berkedudukan di ibu kota kerajaan tidak sama dengan wewenang
empat datuk lainnya. Keempat datuk di Kerajaan Kuantan adalah: (a)
Datuk Donan Putro yang berkedudukan di ibu kota Kerajaan Cerenti dan
Datuk Donan Sekaro yang berkedudukan di Inuman, yaitu daerah kesatuan
IV Koto di Hilir; (b) Datuk Raja Bisai yang berkedudukan di Taluk,
yaitu daerah IV Koto di tengah; (c) Datuk Habib yang berkedudukan di
Lubuk Jambi, yaitu daerah IV Koto di mudiak (hulu); (d) Datuk Paduko Rajo yang berkedudukan di Lubuk Ambacang, yaitu daerah II Koto di mudiak (hulu). Menurut catatan Schwarts (1892) seorang Controleur Belanda yang menulis tentang keadaan politik dan ekonomi di Landschap Kuantan kesatuan-kesatuan wilayah yang dibawahi kelima datuk itu adalah Rantau Nan Kurang Oso Duo Puluo atau sembilan belas koto, yaitu
daerah kesatuan IV Koto di hilir yang meliputi Cerenti, Inuman, Basrah,
Pangean; daerah kesatuan IV Koto di tengah yang meliputi Sebrakun,
Semendolak, Benai, Kopah, Sentajo, Taluk, Kari; daerah kesatuan IV Koto
di hulu yang meliputi Kresek, Toar, Gunung, Telok Ringin, Lubuk Jambi,
dan Sungai Pinang; serta daerah kesatuan II Koto di hulu yang meliputi
Lubuk Ambacang dan Sampuraga. Landasan aturan bagi wewenang pejabat-pejabat adat diungkapkan dalam ungkapan adat “Rantau dituruik dengan undang, nagori batunggui jo pusako, kampung dilimbak jo limbago”, yang berarti “Rantau diperintah raja, luhak diperintah orang besar, nagori
diperintah penghulu, kampung diperintah orang tua”. Selain itu
terdapat kalimat-kalimat sumpahan nenek moyang yang dipatuhi oleh
setiap generasi, yang berbunyi “Undang-undang basimpuah janji, cupak
baparbuatan, sumpah manua parbakala. Kalau rajo manguih dimakan biso
kawi, kalau khalifah manguih dimakan sumpah. Manokalo penghulu manguih
dimakan perbuatan. Kalau urang banyak manguih dimakan kutuak kalamullah
saribu malam”. Kalimat-kalimat tersebut berarti “Kalau melanggar
sumpah akan terkena bisa kawi, khalifah akan dimakan sumpah. Apabila
penghulu melanggar sumpah akan dimakan perbuatan. Kalau orang banyak
melanggar sumpah akan dikutuk Tuhan sepanjang hidup”. Dari urutan struktur organisasi pemerintahan adat di atas, maka yang benar-benar mempunyai hak otonomi adalah nagari-nagari atau kotokoto. Nagari
berhak penuh mengatur ke dalam maupun ke luar. Raja dan Urang
Godang/Khalifah tidak mempunyai wewenang secara langsung untuk
mencampuri urusan dalam setiap nagari. Hal ini menunjukkan
bahwa sistem pemerintahan di kedua kerajaan itu mengandung ciri-ciri
demokrasi. Raja duduk di atas tahta kerajaan atas persetujuan
penghulu-penghulu (datuk-datuk) yang merupakan wakil dari seluruh
penduduk nagari. Hal
ini didasari oleh perjanjian dan sumpah sakti pada waktu upacara
penobatan yang disaksikan oleh roh-roh nenek moyang mereka. Oleh sebab
itu, muncul pepatah yang berbunyi “Rajo adil rajo disambah, rajo zalim rajo disanggah”. Penghulu kepala atau penghulu pucuk adalah penghulu segala penghulu yang ada dalam setiap nagari. Dalam setiap nagari
paling tidak terdapat empat suku. Masing-masing suku klan) ini dipimpin
oleh seorang penghulu suku yang bergelar datuk. Perkembangan jumlah
penduduk dan daerah pemukiman menyebabkan jumlah suku dalam satu nagari lebih dari empat suku nagari,
misalnya saja di Lipat Kain (Kampar Kiri) terdapat sembilan suku dan di
Gunung Sahilan terdapat delapan suku. Dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya, setiap penghulu suku dibantu oleh tiga orang pejabat
adat. Penghulu suku di Rantau Kuantan dibantu oleh monti, hulubalang, dan malin. Adapun penghulu suku di Kampar Kiri dibantu oleh pucuak kampuang, hulubalang, dan malin/pandito. Seperti halnya dengan urang godang/khalifah, maka penghulu kepala (penghulu pucuak)
dan penghulu suku beserta tiga orang pembantunya duduk di jabatan
adat tersebut setelah diangkat atas dasar garis keturunan
(matrilineal) dari suku tertentu pada satu rumah soko (perut) atau menurut garis keturunan ibu. Jabatan penghulu kepala/pucuak nagari (penghulu pucuak) dan penghulu suku disahkan dengan upacara adat memotong kerbau. Orang yang dipilih dari keturunan satu perut (asal satu soko) adalah orang-orang yang memenuhi syarat kepemimpinan adat (Rahim A. dkk., 1983/1984). Pengangkatan tiga pejabat adat pembantu penghulu suku tidak memerlukan upacara seperti di atas. Tugas monti (pucuak kampuang) adalah sebagai pejabat eksekutif, hulubalang bertugas di bagian keamanan, dan malin bertugas
dalam urusan agama, sedangkan penghulu suku bersama-sama dengan
penghulu-penghulu suku dalam negeri lainnya serta penghulu pucuk
merupakan lembaga legislatif. Lembaga legislatif mengadakan kerapatan
adat di balai adat nagari (soko). Penghulu kepala/penghulu pucuak tidak
boleh menjalankan apa saja tanpa melalui musyawarah semua penghulu
suku terlebih dahulu. Begitu juga suara yang dibawa oleh penghulu
suku dalam kerapatan nagari adalah suara keputusan musyawarah dalam sukunya. Hak seorang penghulu suku antara lain adalah memungut manah (memungut pajak) yang berjumlah “sapuluh satu”, artinya 10%. Ungkapan seperti “Ka rimbo babungo kayu, ka tambang babungo ameh, ka ladang ampiang” menunjukkan
bahwa penghulu suku berhak memungut pajak atas beberapa hasil. Hak
lain adalah uang ganti rugi retribusi yang dikenakan bagi orang luar
yang membuka hutan untuk berladang di tanah ulayatnya. Selain itu, dalam mengerjakan sawah ladangnya, penghulu berhak dibantu oleh penduduk, terutama keponakannya secara sukarela. Tanah,
pekarangan, istana raja, dan istana khalifah digarap tiga kali
setahun. Pendapatan raja lainnya berasal dari monopoli penjualan
gading gajah. Gading gajah dibeli oleh raja dengan harga setengah dari
harga pasaran. Di Kampar Kiri, raja memonopoli penjualan emas.
Pendapatan raja yang besar adalah dari hasil sawah ladang dan ternaknya
sendiri. Sesudah Belanda masuk, hak raja untuk monopoli dan hak pancung alas (pajak hutan/kayu) dihapuskan. Syarat berdirinya sebuah nagari yaitu terdapat masjid, balai adat, lapangan, dan pasar labuah nan ramai). Antara bidang eksekutif (rumah gadang), legislatif (balai adat), ekonomi (pasar/labuah), serta agama (masjid) saling terkait. Empat sarana tersebut menjadi syarat utama bagi terbentuknya sebuah pemerintahan adat. Sebuah nagari terdiri dari koto, kampuang, dusun, dan teratak. Sebuah nagari dapat terdiri dari beberapa koto karena perkembangannya. Koto biasanya sebagai pusat pemukiman dan di situ terdapat balai adat, masjid, lapangan, dan jalan yang agak ramai. Koto adalah tempat berdirinya masjid nagari, balai adat, dan rumah gadang (soko) setiap suku. Dulu mungkin ada tanah ulayat suku, tetapi sekarang yang tinggal hanyalah ulayat kuburan suku. Oleh karena nagari-nagari di kedua daerah ini terletak di pinggir sungai, biasanya lokasi koto
itu terletak di daerah yang lebih tinggi dari lainnya. Barangkali hal
ini ada hubungannya dengan pandangan tradisional yang beranggapan
bahwa tempat yang tinggi dipandang lebih suci. Alasan lain adalah untuk
menghindari bahaya banjir. Koto dibagi lagi dalam beberapa kampung. Penduduk
dalam satu kampung merupakan satu kesatuan suku. Pola perkampungan
mengelompok menurut suku (klan), kemudian karena perkembangan dan
mobilitas penduduk, pola perkampungan yang mengelompok ini berubah.
Pengelompokan ini ada hubungannya dengan sejarah terjadinya sebuah nagari yang dimulai dengan pembukaan hutan oleh beberapa keluarga. Proses pertama membangun teratak, kemudian berubah menjadi dusun dan kampung serta seterusnya menjadi koto. Akhirnya, koto dapat berkembang menjadi nagari. Ladang dan sawah terletak di luar koto. Perladangan dibangun dengan jalan menebang hutan secara bersama-sama oleh kelompok banjar. Pola seperti ini ada di kedua daerah tersebut (Rahim A. dkk., 1984/1985). Pada zaman dulu, setiap koto diberi parit atau pagar yang terbuat dari kayu, bambu, dinding batu, atau tanah liat untuk menjaga keamanan. Daerah sekitar koto, termasuk dusun, teratak, tanah perladangan/sawah, hutan serta sungai-sungai yang ada dalam lingkungan nagari adalah tanah ulayat nagari. Semua warga masyarakat nagari
berhak menikmati hasil serta apa saja yang hidup dan ada di atasnya.
Bagi orang luar yang memungut hasil atau mengolah tanah wajib membayar
retribusi kepada penghulu. Tanah milik pribadi tidak dikenal, kecuali
hak milik terbatas, sedangkan tanah pusaka merupakan tanah komunal
yang hak pakainya turun-temurun. Dalam perkembangannya, kemudian ada
tanah yang dibeli, disewakan, atau dipinjamkan. Setelah berlakunya
UUPA 1960, tanah jenis ini dikenal sebagai tanah hak milik bebas. Pemimpin di bidang agama dalam sebuah kerajaan adalah khadi yang
berkedudukan di ibu kota kerajaan. Ia bertugas dan berwenang
melaksanakan hal-hal yang berkaitan dengan masalah agama, misalnya
mengawinkan orang, membacakan doa pada upacara penobatan raja, serta
upacara-upacara kerajaan lainnya seperti pernikahan raja, pernikahan
anggota keluarganya, dan pernikahan pembesar-pembesar istana lainnya.
Tugas khadi juga mengumpulkan semua zakat fitrah masyarakat,
termasuk dari anggota keluarga raja. Sebagian dari dana yang terkumpul
digunakan untuk kepentingan agama, seperti membangun masjid di
ibukota kerajaan atau disumbangkan kepada pembangunan masjid-masjid
lainnya. 5. Kedudukan Dan Pengaruh Adat Dalam Pemerintahan Sekarang Kedudukan
dan pengaruh kaum adat mulai mengalami goncangan setelah masuknya
tentara Jepang pada tahun 1942 dan semakin bergeser setelah masa
Revolusi Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945–1950. Kedua
daerah bekas kerajaan ini dijadikan kawedanan. Kekuasaan kaum adat
digantikan administrasi pemerintahan Republik Indonesia. Keadaan ini
merupakan suatu revolusi, yaitu perombakan total. Daerah yang
sebelumnya merupakan sebuah kerajaan sekarang hanya menjadi
kawedanan. Fungsi raja dan urang godang/khalifah dihapus sama sekali,
sedangkan fungsi penghulu kepala/pucuak nagari diubah menjadi wali nagari. Jabatan ini tidak lagi ditentukan menurut garis keturunan, tetapi atas dasar pemilihan oleh rakyat menurut kemampuan dan republiken. Pemilihan wali nagari berpedoman pada Indische Staats Regeling
Pasal 128. Masyarakat desa berwenang memilih kepala desa yang
dikehendakinya yang pelaksanaannya ditetapkan oleh bupati sesuai dengan
adat kebiasaan setempat. Kedudukan
kaum adat pada masa sebelum kebijakan Pelita adalah membantu kepala
desa dalam wadah Lembaga Masyarakat Adat. Meskipun kaum adat hanya
berfungsi sebagai pembantu dan bukan lagi sebagai pengambil keputusan,
akan tetapi pengaruh dan peran mereka dalam masyarakat masih besar. Kalau
berbicara tentang kaum adat, berarti juga membicarakan tentang kaum
ulama. Dengan kata lain, kaum adat dan kaum ulama sebelum Pelita berada
dalam satu kesatuan yang kokoh. Sesudah keluarnya Undang-undang Nomor 5 tahun 1979 Pasal 4 tentang Pemerintahan Desa, di samping kepala desa terdapat suatu lembaga yang berfungsi sebagai pembantu kepala desa dalam pembangunan yang bernama Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD). Lembaga ini dijadikan wadah tokoh-tokoh masyarakat pedesaan yang ditunjuk oleh kepala desa/lurah dengan persetujuan camat. Fungsi LKMD adalah untuk membantu kepala desa/lurah dalam melaksanakan pembangunan. Masalahnya sekarang adalah bahwa tokoh adat yang duduk pada lembaga terbatas jumlahnya. Mereka tidak dapat mewakili semua tokoh adat yang ada di desa. Berdasarkan penelitian tahun 1981, proses pemilihan tokoh adat yang duduk di LKMD bukan melalui kesepakatan semua tokoh adat di desa, tetapi atas dasar penunjukan. Akibatnya, partisipasi masyarakat dalam pembangunan tidak seperti yang diharapkan, meskipun hal ini tidak terjadi di semua desa. Seperti diketahui, peran dan pengaruh tokoh adat masih besar pada sebagian besar desa di Riau (Rahim A. dkk., 1981/1982). Barangkali perlu dicari jalan keluar yang lebih baik agar partisipasi aktif dari semua lapisan masyarakat dalam pembangunan ini dapat meningkat dan menyeluruh, sehingga hal yang ingin dicapai dalam pembangunan desa betul-betul menjadi kenyataan.
|
|
|